Udah lama nggak ng-Blog ni, setahun ada kali ya? Maklum saja, dulu saya buat Blog ini bukan karena ingin nge-Blog tapi karena tuntutan salah satu mata kuliah yang saya ambil di perkuliahan yang mengharuskan saya untuk membuat sebuah Blog, makanya jarang sekali di-update. Tapi akhir-akhir ini jadi iri sendiri lihat teman saya, @ghuw, yang sering banget ng-update Blog-nya, tiba-tiba timbulah niat untuk nge-Blog lagi. Banyak yang mau saya share di Blog ini, tentang ilmu-ilmu atau pengalaman lain yang saya miliki tentunya. Awalnya ingin nulis tentang tutorial-tutorial fotografi yang sedang saya minati saat ini, tapi karna saya sekarang lagi sibuk sama KP (Kerja Praktek), jadinya tertunda terus. Tapi untuk postingan kali ini ada hubungannya juga dengan fotografi.
         Kemarin sewaktu lagi liat-liat timeline di Twitter ada yang ngetwitt tentang foto tempo dulu, jadi penasaran Indonesia tempo dulu itu gimana sih? Setelah dibuka linknya, ternyata fotonya sedikit sekali, karena masih penasaran coba-coba nyari sama mbah google, akhirnya ketemu juga. Sekalian saja saya posting di Blog. Pada awalnya postingan pertama saya (setelah vacuum) ini adalah tentang Kota Pekanbaru, kota tempat dimana saya dilahirkan dan dibesarkan, tetapi saya tidak tahu nama Pekanbaru tempo dulu itu apa, maklum saja web yang menyediakan foto-foto tersebut adalah web yang berdomain .nl (domain negara Belanda) yang memuat tentang kejadian-kejadian kolonialisme yang dilakukan negara tersebut, jadi saat searching pun harus pake istilah zaman dahulu atau istilah dalam Bahasa Belanda. Akhirnya saya memutuskan untuk mengganti tema kotanya menjadi Kota Payakumbuh, kota asal orang tua saya. Kebetulan Payakumbuh paling gampang di-search di web tersebut.         

         Kelok Sembilan

       Setiap pulang kampung, disaat penumpang lainnya sedang terlelap tidur, saya malah membuka mata dan jendela mobil lebar-lebar saat melintasi  jalur Kelok Sembilan ini untuk menikmati keindahan alamnya. Bangsa kolonial Belanda pasti tidak akan menduga bahwa hasil karyanya berupa "Kelok Sembilan" yang berada di ruas jalan yang menghubungkan Pekanbaru - Sumatera Barat (Sumbar) keberadaannya sangat berarti hingga sekarang. Belok sembilan itu selain berfungsi sebagai ruas jalan penghubung juga menjadi objek wisata yang cukup menarik.
      Bagi masyarakat Riau dan Sumatera Barat, nama ruas jalan Kelok Sembilan itu tidak asing lagi. Ruas jalan itu dinamakan Kelok Sembilan, karena memiliki belokan (bahasa Minangnya kelok-red) ke kiri dan ke kanan sebanyak sembilan belokan. Kalau dilihat dari atas, belokannya merupakan zig zag. Kelok Sembilan menyimpan pesona tersendiri. Letaknya yang di sela-sela bukit membuat suasana di sekitarnya menjadi sangat asri dan terasa sejuk.  Menikmati pemandangan di sekitar Belok Sembilan ini bisa dilakukan dari ruas jalan paling atas. Di belokan paling atas ini terdapat pinggiran jalan yang cukup luas. Disitu kita bisa berdiri untuk melihat bentuk Kelok Sembilan secara utuh, menikmati hutan perawan yang tumbuh di lereng-lereng bukit yang mengapit Kelok Sembilan dan melihat ujung kelokan yang terletak sekitar 100 meter di bawahnya. Disini Kita tidak hanya  bisa menikmati suasana di kawasan Kelok Sembilan itu, tapi juga menganggumi konstruksi jalan tersebut. Bayangkan saja, tahun 1900, Kolonial Belanda telah mampu menaklukkan garangnya alam Sumatera Barat untuk sarana jalan. Padahal pada zaman itu belum ada eskapator atau peralatan berat lainnya untuk mengerjakannya. Semuanya masih mempergunakan peralatan sederhana dengan teknologi yang pas-pasan.

Weggedeelte met negen bochten in de weg van Pajakoemboeh naar Pangkalankotabaru bij Keluk Sembilan op Sumatra's Westkust 1910
 


       Lembah Harau

        Lembah Harau adalah objek wisata alam andalan di Payakumbuh. Terletak di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Berada ±2 Km dari Kota Payakumbuh. Dilingkungi batu pasir yang terjal berwarna-warni, dengan ketinggian 100 sampai 500 meter. Memasuki lembah harau, mata akan dimanjakan suasana alam pengunungan yang luar biasa apalagi dengan pemandangan 5 buah air terjun ( sarasah ) yang sangat besar dengan ketinggian ± 100 meter dan dilalui oleh empat buah sungai yang jernih. Areal ini dibuka oleh Assisten Residen Lima Puluh Kota yang bernama J.H.G Boissevain, dengan E. Rinner bernama B.O.Werken bersama Tuanku Lareh Sarilamak yang bernama Rasyad Dt. Kuniang nan Hitam dan assisten Demang yang bernama Janaid Dt. Kodo Nan Hitam. Waktu itu dibuatlah prasasti dari batu marmar yang dipahatkan pada salah satu dinding sarasahnya yakni “Sarasah Bunta” pada tanggal 14 Agustus 1926, sehingga sejak itu terkenallah lembah sempit tersebut sampai ke Negara Belanda dengan nama “Hemel Arau” (Sorga Arau) dan kemudian disingkat dengan Harau.

Sawah in de Kloof van Arau bij Pajakoemboeh 1892

Waterval in de Arau-kloof op Sumatra's Westkust 1880

Waterval naast een Minangkabau woning en weg door de Arau-kloof bij Pajakoemboeh 1956
 
De Arau-kloof bij Pajakoemboeh 1890

De Arau-kloof bij Pajakoemboeh 1915

De Arau-kloof op Sumatra's Westkust 1880

De Arau-kloof op Sumatra's Westkust met rechts een moskee 1880

Kampong in de Arau-kloof, Sumatra's Westkust 1890

Kloof van Arau in de Padangse Bovenlanden 1900

Mevrouw Bowman in de auto bij de Arau-kloof bij Pajakoemboeh 1900




        Stasiun Kereta Api Payakumbuh

        Saya sendiri tidak tahu persis kapan stasiun peninggalan  Kolonial Belanda ini didirikan. Stasiun ini sudah lama tidak aktif bahkan sekarang di dekat lahan stasiun tersebut sedang dibangun ruko-ruko. Padahal sebelumnya sudah ada rencana dari pihak PT Kereta Api (Persero) Sumatera Barat untuk mengaktifkan kembali stasiun tersebut dengan akan membuka jalur Pekanbaru - Sumatera Barat. Seandainya rencana tersebut terealisasikan, pasti akan menjadi objek wisata kereta api yang menarik di Payakumbuh.

Station van Pajakoemboeh, Sumatra's Westkust2 1920

Station te Pajakoemboeh 1905



        Jembatan Ibuh / Sungai Batang Agam

        Jembatan Ibuh (Jembatan Ratapan Ibuh) ini dibangun tahun 1818 dan memiliki panjang 40 meter dengan arsitektur kuno berupa susunan batu merah setengah lingkaran yang direkat dengan kapur dan semen tanpa menggunakan tulang besi. Jembatan ini melintasi Sunga Batang Agam, menghubungkan Pasar Payakumbuh dan nagari Aie Tabik.
       Jembatan tersebut menjadi terkenal dan bersejarah karena menjadi tempat pembantaian anak nagari Payakumbuh oleh tentara kolonial Belanda di zaman penjajahan. Dari cacatan sejarah, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang tertangkap Belanda digiring menuju jembatan tersebut, lalu disuruh berbaris di bibir jembatan. Setelah itu, mereka dieksekusi dengan tembakan senjata api, sehingga tubuh mereka langsung jatuh ke Sungai Batang Agam dan dihanyutkan arus deras. Masyarakat, terutama kaum ibu setiap menyaksikan eksekusi itu hanya bisa menangis melihat para anak nagari ditembaki, lalu mati dan jasadnya jatuh ke sungai serta dihanyutkan air. Untuk mengenang peristiwa itu, maka jembatan tersebut diberi nama "Ratapan Ibu". Disana juga dibangun sebuah patung wanita paruh baya sedang menangis menyaksikan kekejaman tentara Belanda di areal jembatan tersebut.

Rivier Batang Agam, vermoedelijk te Taram bij Pajakoemboeh 1900

Brug over de Batang Agam te Pajakoemboeh 1880


        Kehidupan Masyarakat Payakumbuh

         Berikut adalah gambar-gambar kehidupan masyarakat Payakumbuh saat penjajahan Kolonial Belanda.
Minangkabause huizen bij Pajakoemboeh 1910

Familie te Pajakoemboeh 1900
          Ini suasana jual beli di pasar-pasar Payakumbuh.

Verkoper van vlechtwerk op de markt te Pajakoemboeh 1935

Markt te Pajakoemboeh 1920

Markt te Pajakoemboeh 1920

Markt te Pajakoemboeh 1920

Pasar te Pajakoemboeh 1935
         Bangunan sekolah di zaman penjajahan

Onderwijzeressen van de kleuterschool te Pajakoemboeh 1930

       Jalanan-jalanan di Payakumbuh

Weg naar Pajakoemboeh 1901

Weg naar Pajakoemboeh 1901

       Salah satu mata pencaharian masyarakat Payakumbuh adalah sebagai Petani Tembakau. Melihat gambar-gambar berikut, saya jadi teringat pada Almarhum Datuk, Bapak dari Mamak (Ibu) saya, yang bekerja sebagai petani tembakau. Beliau meninggal setelah terserang penyakit asma yang dideritanya ketika menjalani pekerjaan tersebut. Dengan cuaca Payakumbuh yang dingin dan aroma tembakau yang tidak baik untuk paru-paru membuat para petani tembakau rentan terserang penyakit asma ataupun penyakit saluran pernapasan lainnya.

Tabaksveld te Pajakoemboeh 1911

Kerven van tabak voor de inlandse markt te Pajakoemboeh 1910

       Sekian postingan foto-foto Payakumbuh tempo dulu dari saya, mohon maaf jika gambarnya tidak terlalu jelas. Mudah-mudah bisa jadi informasi yang berguna buat bloger semua. Untuk postingan berikutnya Insya Allah saya akan memuat foto-foto tempo dulu dari daerah-daerah lain di Sumatera Barat dan Riau.



Source:
















10 comments:

  • Waahh!
    Nice info gan, gak kaya ane yang kerjanya posting bodoh-bodoh :P
    salut dengan foto-fotonya. gak sia-sia agan pinter bahasa belanda yee...
    hahaha

    btw PERTAMAX is ROCK'N

    halah

  • Thankyou miwwa,,, :D
    Itu ada source nya kok, yg KITLV itu,,
    Isinya foto2 jadul semua,,

    Ah, kata siapa? Jangan pecaya sama yg pertamaxxx,
    Percuma aja mir kalo bisa ngobrol sama irfan bachdim, ketemu aja gak pernah, hahaha

  • wahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh....

    pengennnnnnnnnnnnnnnnn lah rasanya hiduppppppp d zaman ini....

    kayaknya seru deh....
    hihihihihihihihihihihihihi.....

  • Jembatan Ratapan Ibu dibangun sesudah Perang Padri, bukan tahun 1818. Belanda baru ikut Perang Padri pada tahun 1821 dan Perang Padri berakhir tahun 1837. Jembatan Batang Agam (Ratapan Ibu) dibangun pada tahun 1840-an dan selesai sekitar tahun 1846.

    Tambahan : Jarak Lembah Harau dari Payakumbuh adalah 17 kilometer, bukan 2 km.

Post a Comment

What time is it?

About Me

My photo
Pekanbaru, Riau, Indonesia

My Timeline

Follow aaimm on Twitter

Blog List

Followers

Blogger Bertuah